Menjadi Guru itu Berat; Maka Harus Kuat


Pagi itu, Sabtu, 14 April 2018. Saya baru saja selesai mencuci baju yang kotor. Cukup banyak cucianku. Tapi selepas semua pakaian selesai ku cuci ada rasa bahagia yang begitu terasa di dalam dada. Melihat jemuran penuh dengan pakaianku yang bersih dan beraroma wangi rasanya seperti seseorang yang berada di tengah padang pasir kemudian menemukan air untuk melepas dahaga. Apalagi air itu dingin seperti sehabis ditaruh di dalam kulkas.
Oh iya hampir lupa saya ceritakan, pagi hari itu saya bisa mencuci karena pagi itu bertepatan dengan peringatan “Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW”, jika dihari biasa sulit rasanya saya bisa mencuci baju yang kotor di pagi hari, sebab saya harus pagi-pagi sekali berangkat ke tempat kerja. Maka pagi hari itu merupakan pagi yang berbeda dari pagi-pagi biasanya. Sungguh nikmat yang luar biasa bisa bertemu hari libur, yah meskipun hari libur nyatanya kita tidak pernah libur untuk beraktivitas.
Selepas selesai mencuci saya iseng membuka hp kemudian ku buka twitter sejenak kemudian ku tulis “Isra Mi’raj itu membumikan pesan-pesan langit; bahagiakanlah yang ada di bumi maka yang ada di langit akan membahagiakanmu”. Setelah itu iseng-iseng ku buka whatsapp; ternyata ada pesan yang masuk.
Pesan itu menanyakan saya sedang sibuk atau tidak? Kemudian ku jawab “tidak”. Pertanyaan lain pun mengucur deras ibarat langit yang meneteskan butiran-butiran air ke bumi, yang biasa kita sebut dengan hujan. Tibalah pertanyaan  yang membuatku agak deg-degan. Begini pertanyaannya “Mas, apa motto hidup njenengan?”. Wah apa yah? Tiba-tiba saya teringat salah satu teman pernah bilang “Kita tidak berhak menuntut orang lain untuk menjadi baik; tetapi kita harus menuntut diri sendiri untuk menjadi baik sehingga orang lain di sekitar kita termotivasi dan ikut menjadi baik sama seperti kita”. Tanpa ragu ku kutip kalimat dari temanku itu untuk ku jadikan Motto hidup. Yah kalau ada hal yang baik untuk kita bagi kenapa tidak? Begitu pikirku.
  Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Senin, 16 April 2018, ada pesan masuk yang mengabarkan bahwa hasil wawancara via Whatsapp telah dimuat di rubrik Figur Koran Radar Tegal, mendengar kabar tersebut  rasanya tuh kayak ada geli-gelinya. Gelinya itu yah karena saya merasa hanya pecahan rengginang, dan rasanya belum pantas untuk menjadi public figur. Tapi yah sudahlah, semua hal memang harus kita sikapi secara positif. Rasanya saya dimasukan ke rubrik figur merupakan sebuah sindiran tersendiri, sebab akhir-akhir ini saya sudah jarang mengeluarkan ide-ide dalam bentuk tulisan ke media masa. Akhir-akhir ini, kesibukan begitu menumpuk. Ah entahlah, entah ini bentuk alasan ataukah bentuk pembelaan diri.
Dan hal yang membuat saya tersenyum senyum sendiri adalah judul wawancara tersebut “Menjadi Guru Teladan”, lagi-lagi rasanya saya masih belajar menuju teladan. Tapi yang jelas bila saya disuruh memilih, saya akan lebih memilih menjadi guru teladan ketimbang menjadi guru yang berprestasi. Kebahagiaan saya adalah melihat murid-murid saya termotivasi dan menjadi lebih baik, ketimbang hanya prestasi untuk diri sendiri. Yah, Meskipun hidup butuh prestasi, dan bukan sekedar menunggu mati. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Teknik, Metode, dan Strategi

Soal Iman Kepada Rasul

Mufrodat tentang Makanan dan Minuman